Sejarah memang mencatat bahwa
mahasiwa selalu mempunyai peranan penting tidak hanya dalam tatanan politik dan
roda kepemerintahan, namun juga dalam mengayomi rakyat kecil. Bisa dikatakan
kalau mahasiswa itu merupakan sebuah kontrol terhadap berjalannya poros
kepemerintahan sekaligus agen pembawa perubahan-perubahan besar untuk masa
depan. Namun impian itu masih sangat terbentang jauh dari realitas yang ada,
setidaknya bagi mahasiswa Indonesia saat ini yang telah sangat tertinggal jauh
dari kreasi dan inovasi para mahasiswa Negara tetangga.
Hal ini karena, mahasiswa saat
ini hanya merasa bangga dan lalu berbangga diri dengan idealismenya sendiri; Direct
Of Change, Agent of Change, Iron Stock, Moral Force, Social Control dan
lain semacamnya. Padahal, di situlah seharusnya mereka dituntut untuk senantiasa
bertanggungjawab untuk kemudian mempertanggungjawabkan atas segala realitas
sosial dan kebangsaan Indonesia. Tentu saja tanpa harus menyandang segala
kebanggan itu, layaknya seperti kesatria sejati, kelak di puncak segala
keberhasilannya, pastilah akan tiba bagi mereka benar-benar akan dibanggakan
dan di-pahlawan-kan, tidak hanya oleh bangsa Indonesia, tapi juga oleh dunia.
Dan harapan itu semua, tentu dengan segala rasa optimisme para mahasiswa, kelak
pasti akan benar benar tercapai.
Hanya saja, kejadian yang
baru-baru ini terjadi, sedikit banyak telah membuat rasa sakit dihati rakyat
kita. Mengapa tidak, mahasiswa yang seharusnya mengemban amanah dan tanggung
jawab moral malah menciderai amanah tersebut. Sehingga pada kenyataannya, kian
hari, mahasiswa dan peranannya kian dipertanyakan.
Kongres Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) yang digelar di Pekenbaru, Riau (22/11) beserta segala proses dan
persiapannya, malah menyisakan ketidaknyamanan berbagai pihak. Hal ini
diantaranya adalah karena anggaran sebesar 3 miliyar dan diambil dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau malah lebih besar dari anggaran yang
dialokasikan untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Riau dengan hanya
sebesar 1,4 miliyar. Sehingga banyak pihak menilai bahwa kongres HMI sudah di
luar batas wajar dan sungguh tidak masuk akal, sebagaimana telah disampaikan
oleh kordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITA) Riau, Usman
(18/11) di tempo.co
Belum lagi, banyak pihak menilai
bahwa warna-warni kericuhan memang kerap terjadi disetiap kongres HMI
dilaksanakan. Bahkan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2013
membatalkan hadir ke acara kongres HMI ke 28 di Asrama Haji, Pondok Gede lantaran
sebelumnya telah terjadi kericuhan. Kericuhan para mahasiswa dengan buruh
kapal. Sungguh hal ini sangat miris. Betapa tidak, buruh kapal yang seharusnya
mendapatkan hasil dari pelayaran penumpang, malah dipaksa oleh para mahasiswa
agar mereka bisa menaiki tumpangan secara cuma-cuma, demi menghadiri sebuah
perkumpulan, yang oleh mereka disebut sebagai kongres, sedangkan bagi saya
pribadi, perkumpulan itu tidak lebih dari sekedar hura-hura yang bahkan dengan beraninya
menciderai rakyat jelata.
Bahkan pada kongres kali ini,
para mahasiswa malah melakukan aksi yang melenceng dari idealisme mahasiswa itu
sendiri, pasalnya mereka metutup jalan dan melakukan pembakaran ban di depan
gedung olah raga Pekanbaru serta melakukan berbagai perusakan fasilitas umum
hanya karena mereka tidak mendapatkan fasilitas penginapan dan akomodasi.
Sekali lagi, bukankah para mahasiswa pergerakan beserta segala idealismenya
yang sangat tinggi adalah orang-orang yang suka dan gemar “bergerak”? Lantas
mengapa mereka saat ini malah menjadi generasi yang mudah mengeluh hanya karena
permasalahan yang ujung-ujungnya kembali pada persoalan perut?
Kongres yang seharusnya menjadi
cerminan dari kebersatuan demi menyatukan tekad bulat dan visi-misi dalam
bergerak ke depan untuk Indonesia lebih baik guna bersaing diskala
internasional oleh Himpunan Mahasiswa Islam se-Indonesia malah merugikan banyak
kalangan. Sehingga, untuk apa kita banyak bergerak jika pada kenyataannya
gerak-gerik kita entah kita sadari atau tidak malah merugikan orang lain?
Tidakkah dalam kondisi seperti ini, diam adalah merupakan pilihan terbaik?
Maka pada giliranya, seharusnya para
mahasiswa tidak hanya sekedar mengumbar idealismenya yang hanya besar dimulut tetapi
ciut dalam ranah praktik. Karena jika terus demikian, maka siapakah yang akan
mengontrol roda kepemerintahan kita ke depan?
Presiden pertama kita puluhan
tahun silam mengatakan “berikan aku 1.000 orang tua, niscaya kucabut semeru
dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” adalah
terbukti sakti, maka kali ini, dengan penuh hormat pada anda, wahai Bung Karno,
supaya anda segera mencabut kata-kata indah anda itu. Sebab kata-kata anda
hanya hidup dan bergema dimulut saja, namun tidak pernah membangkitkan gairah
para pemuda, terutama para mahasiswa untuk berbakti secara sungguh-sungguh pada
Negara dalam ranah praktik yang sesungguhnya.