Embun. Bila sudah usai ia membisikkan gerimis pada daun-daun yang telah
hampir kerontang, dan gunung-gunung telah alpa cara menjahit luka kenangan
bersama kabut tetapi tak dihadiri kesunyian. Maka adakah jalan menuju kremasi
pembaringan selain pendakian di bawah hujan?
Tidak. Kurasa ini bukan hujan. Hujan hanya menjadi tanda jejak perjalanan,
arwah bagi setiap kehadiran. Tetapi tak lupa melukiskan pelangi di matamu, yang
mengalir dengan khidmat seolah menutus pertaubatan, dari kedalaman batin Lembah
Arai.
Kehidupan sejati bukan hanya perpindahan dari lembah ke lembah, bukan hanya
kesiur angin yang lupa bagaimana menerbangkan burung pipit, ke puncak paling
angkasa, ke ujung paling samudra, ke degup paling dada. Kau pasti tahu,
kehidupan sejati adalah saat kau memainkan kecapi di tengah hutan dengan cinta
yang tak kau beri makna.
Perjalanan ini tidak akan pernah terhenti, aku hanya perlu mendaki, dengan
sepenuh hati. Lalu menulis puisi tentang sejuk matamu dan aroma padang sahara
Mesir Van Andalas yang semakin terasa khas. Aku terbuai. Bahkan lebih mabuk
dari cawan anggur yang disepuh dengan rindu dan getar bibirmu.
Aku sadar, Padang Panjang bukan puisi, tetapi ekstasi.
(2018)
Catatan:
Puisi ini lolos kurasi Temu Penyair Asia Tenggara 2018 yang akan berlangsung di Padang Panjang pada 3-6 Mei 2018