Judul buku: Rumbalara Perjalanan
Penulis: Bernando J. Sujibto
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: Pertama, Mei 2017
Tebal: 184
ISBN: 978-602-61246-1-6
Oleh: Musyfiqur Rahman
Adakalanya manusia harus mengasingkan diri. Namun bukan hanya pada sunyi, melainkan pada keterasingan itu sendiri. Keterasingan dalam banyak hal—selalu mampu menghadirkan espektasi dan imajinasi tak terpermanai. Lihatlah orang-orang yang melemparkan diri mereka ke negeri antah berantah, mengundi nasib, mencari jejak-jejak yang masih bisa disapih, memburu seserpih-seserpih diri—sebagai “Biografi yang Tak Utuh”.
Kumpulan puisi Rumbalara Perjalanan, karya Bernado J. Sujibto hadir sebagai gejolak yang senantiasa menyuarakan dahaga pencarian. Pencarian yang bermula dari kegelisahan-kegelisahan perenungan. Hasil dari ketidakpuasan dan kehendak untuk tak pasrah dan tak menyerah. Pencarian yang tak akan pernah tuntas, pencarian dalam perjalanan yang pada salah satu puisinya ia sebut sebagai Biografi yang Tak Utuh. Dilihat dari berbagai sudut, judul yang mengawali kumpulan puisi ini seperti menyiratkan harap-harap cemas. Pada titik tertentu, Bernando meleburkan harapannya itu pada garis-garis hitam putih perjamuan/Jalan panjang ini mengeras di tapakku/Batu-batu gemeretak/Jalan lantak-lantak (hal, 38).
Pelayarannya telah jauh membentang. Semua telah ia abadikan dalam kotak kenangan dan sekali-kali pastilah cukup memilukan. Dalam puisi ini, Bernando tak tanggung-tanggung melakukan pengembaraan panjang yang entah sampai kapan ia berakhir. Dalam pengembaraannya ia mempertaruhkan segala hal. Bahkan tangisnya adalah bagian dari perayaan. Pada setiap tangisnya, aku kabarkan tentang senja yang menguncup perlahan itu dikelopak matamu/Ia mengasah angin menjadi pisau dan cangkul.
Ia sadar, sebagai orang dalam pengasingan—masa-masa pencarian—tak mudah melepaskan diri dari tanah kelahiran. Aku-lirik dalam puisi ini masih dalam ingatannya paling segar, tentang kampung halaman, tentang pisau dan cangkul. Sehingga garis-garis perjalanan yang cukup lama membentang tak akan hilang begitu saja dalam ingatan.
Menapaki jejak-jejak pada kumpulan puisi ini adalah bagian dari ritual pendakian yang tak akan ada habisnya. Selalu saja perpindahan dari titik awal menjadi awal yang baru bagi titik selanjutnya. Jika dikatakan buku ini banyak menyuarakan puisi-puisi pencarian, maka bukan berarti puisi-puisi tersebut harus mencapai penemuan. Karena penemuan itu sekali lagi, hanyalah awal bagi pencarian itu sendiri.
Puisi-puisi Bernando benar-benar unik dan bersahaja. Keterasingan yang ia ciptakan sebagai bumbu di dalamnya adalah bentuk kehadiran lain bagi terciptanya imajinasi-imajinasi yang bernas. Puisi Kabar Kepada Ibu, salah satunya, Bahwasanya kerinduan/adalah bahasa rembulan/kepada malam tenggelam/di matamu (hal, 131).
Ibu, sebagai objek rindu tak lain adalah suara batin yang terus bergejolak. Hal ini dapat ditelusuri melalui penggalan awal puisi ini. Bahwasanya kerinduan si aku-lirik sudah tak mampu lagi ia pendam dan suara-suara gemuruh yang membadai dalam batinnya sudah tak lagi tertahankan. Rindu yang tak tertahankan itu tak lain adalah bahasa rembulan dalam cahaya yang temaram, lalu cahayanya silau dan sungguh memberikan pancaran kepada malam tenggelam tepat saat mendung mulai pekat di matamu.
Tak selalu mudah menyajikan perjalanan dalam bentuk puisi. Dikarenakan puisi selalu tak sesedarhana sebagaimana telah jamak dipahami. Terkadang ia terasa sangat pelik dengan segala kompleksitas sesuai pengalaman, perenungan, dan pencapaian si penyairnya. Bahkan pada skala tertentu, puisi tak hadir sebagai bagian—dari diri—yang menyertai sang penyair, melainkan hanya sebatas kata demi kata yang tak pernah sampai pada ujungnya.
Sedangkan pada skala ini, Bernando telah berhasil dalam membangun jembatan kokoh yang menghubungkan antara dirinya dengan puisi-puisi perjalannya yang sarat akan nama-nama dan makna yang tak akan cukup dicapai dengan sekali selam. Butuh perenungan dan pencarian kembali.