Judul: Puisi-Puisi Cinta
Penulis: W.S. Rendra
Penyunting: Edi Haryono
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2018
Tebal: 83
ISBN: 978-602-291-464-8
Masa-masa kepenyairan
banyak sekali diwarnai dengan romantika dan gejolak rasa. Seringkali, tema
cinta menjadi garapan paling pertama seseorang dalam menapaki belantara kepenyairan,
sebuah dunia imajinasi yang dipercaya akan abadi. Mengingat dunia imajinasi
kepenyairan begitu luas dan tema cinta adalah harta karun yang tak pernah usang
dan terus digali dengan beragam pendekatan dan perspektif, maka upaya
eksperimental menjadi sangat penting bagi seorang penyair untuk menghadirkan
puisi-puisi cinta yang mempunyai nafas dan jiwa.
W.S. Rendra telah
membuktikan geliat rasa tersebut dalam puisi-puisi cintanya yang sederhana tapi
memukau. Di tengah banyaknya penyair yang menggambarkan cinta begitu rumit dan
absurd, Rendra justru membangun realitas cinta penuh dengan kejutan, ia bebas,
tak terbelenggu oleh ruang dan waktu. Bahkan Rendra menghindari deskripsi yang
bertele-tele dalam berpuisi. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman-pengalamannya
yang ia tuliskan dalam 30 puisi cintanya yang terhimpun menjadi Puisi-Puisi
Cinta.
Dalam bukunya yang lain, Mempertimbangkan
Tradisi, Rendra mengatakan, “Peristiwa perkawinan dan jatuh cinta yang
mendorong saya untuk lebih menyadari peristiwa mati dan hidup dalam alam.” Bagi
Rendra, cinta tidak hanya pengalaman internalisasi batin yang begitu sangat
kompleks. Ia lebih dari sekedar lambang atau tanda yang memberikan aksentuasi
pada kesadaran paling intim dalam diri manusia. Dan karena cinta telah membuka
pintu kesadaran paling dalam, maka hal terberat adalah menyembuhkan diri dari
pengalaman traumatik.
Sebagaimana dalam salah
satu puisinya yang berjudul Tobat, Rendra mengalami rasa ngeri sekaligus
trauma. Pengalaman ini begitu sangat memilukan karena membuat dia terlempar ke
dalam neraka, Tuhan//aku telah bertobat//aku telah merasakan apa neraka itu.
Perjumpaannya dengan neraka memberi isyarat bahwa Rendra telah dihukum oleh
Tuhan karena melakukan dosa besar. Dan dosa itu adalah; Sebab
kemarin//pacarku menangis//di hadapanku. Karena dosa besar inilah Rendra
merasa kapok untuk terjebak kembali pada pengalaman lamanya itu yang hanya akan
membangkitkan rasa trauma dan penyesalan. (hlm. 15).
Pada puisi di atas, jelas
Rendra dengan sangat cermat menjaga kesedarhanaan diksi yang dipilih namun
demikian, kesederhanaan itu justru memberikan makna universal tentang drama
cinta yang terjadi di dalamnya. Lalu terciptalah keintiman yang lebih erat
sebagai narasi-relasi antara pembaca dan penyair dalam kapasitas subjek
sekaligus objek. Dari sini dapat dipahami bahwa penyair tidak hadir dalam ruang
hampa yang hanya dipenuhi rimbun kata-kata. Penyair harus bisa memastikan bahwa
kehadirannya terus dirayakan dan memberi panggung bagi pembaca. Sehingga sang
penyair bisa memutuskan tali kematian (dari pembaca)nya sebagai gugatan atas
gagasan paling masyhur Roland Barthes yang mengatakan “The death of author”.
Sajak Cinta Ditulis pada
Usia 57, adalah puisi panjang yang dibuka dengan beberapa larik yang
mengagumkan, Setiap ruang yang tertutup//akan retak,//karena mengandung
waktu//yang selalu mengembang. (hlm. 58). Pada puisi ini, Rendra memberi
ilustrasi hubungan antara cinta yang selalu dipendam dengan waktu yang terus
melaju dan berlalu. Lama-lama waktu akan membuat cinta yang terpendam mengalami
keretakan akibat beban berat yang dirasakan. Secara implisit, Rendra ingin
menyampaikan kesan tentang tragedi cinta, yang jika dibiarkan lama-lama hanya
akan membawa derita.
Namun begitu, pada awal bait
kedua, Rendra seperti menyadari dan secara sukarela membiarkan dirinya terjebak
dalam situasi rumit seperti itu. Ia ikhlas apa adanya. Cintaku kepadamu,
Juwitaku,//ikhlas dan sebenarnya.//Ia terjadi sendiri. Pada kenyataannya,
cinta memang selalu datang secara tiba-tiba. Tetapi cinta yang membawa
ketulusan tanpa harus menuruti ego untuk memiliki dan menguasi adalah cinta
yang alami dan cinta yang sebenarnya. Karena ketika cinta telah terjadi, kalau
tidak mencapai rida ilahi, biasanya akan berakhir tragedi.
Dalam puisi ini, Rendra
melukiskan cinta begitu sangat kompleks dan padat, namun tetap dengan segala
kesederhanaannya. Cinta telah membawa Rendra pada kesadaran paling subtil dan
turut memperkaya jangkauan ruang-ruang intuitif dalam dunia imajinernya untuk memahami
cinta dan menciptakan gagasan fundamental tentang cinta serta aktivitas
cinta-mencintai-dicintai dalam jangkauan pembaca melaui puisi-puisinya.
Dan kesimpulan akhir dari seluruh
panghayatan Rendra dalam menyelami dan mengkaji semesta cinta sekaligus
fenomenanya adalah cinta tidak hanya sebatas rasa yang menghendaki hasrat
ragawi. Cinta seharusnya bisa merung dan mewaktu, mampu melampaui segala anasir
yang dipersepsikan sementara kalangan. Cinta harus selalu bersama puisi, selalu
abadi. Sekarang aku menyadari://usia cinta lebih panjang//dari usia
percintaan. (hlm. 59).
Dalam hampir seluruh
puisi-puisi cintanya, Rendra tidak pernah berjarak dengan para pembacanya. Kesadaran
berpuisi bukan pada diksi dan kata-kata belaka, tapi harus memberikan
alternatif makna yang paling mendalam dan mampu bertahan dalam benak
pembacanya. Setidaknya, begitulah buku ini menghadirkan kembali kesederhanan
pribadi Rendra yang menjadi roh dalam puisi-puisinya. Wallahua’lam.
Dimuat di Kabar Madura, 21 November 2018.