Pada hari Selasa (7/1), jutaan rakyat Iran mengantarkan kepulangan terakhir jenazah Mayjen Qasem Soleimani untuk dikebumikan di Kerman, kota kelahirannya. Haru biru tangis dan kesedihan tumpah dalam iring-iringan manusia sambil mengenang sang pahlawan, aktor intelektual di balik perang melawan ISIS di Timur Tengah yang hidupnya harus berakhir secara mengenaskan di tangan militer Amerika Serikat. Dalam sekejap peristiwa ini telah mengubah peta politik dan konstelasi di kawasan.
Banyak analis mengatakan bahwa serangan militer AS yang berhasil menargetkan Mayjen Qasem Soleimani adalah langkah yang gegabah bahkan brutal. Trump yang mengaku telah memberikan instruksi langsung untuk operasi tersebut merasa bangga atas pencapaian ini. Sebab, katanya, AS telah berhasil menghabisi salah satu orang paling berbahaya di dunia. Benarkah operasi ini adalah prestasi besar bagi AS yang patut dibanggakan?
Sangat tampak sekali bahwa operasi militer ini merupakan operasi paling ceroboh yang pernah dilakukan AS dalam beberapa tahun terakhir, selain karena menuai banyak kritikan dari publik internasional, ia juga dipersoalkan oleh Kongres AS, utamanya oleh pihak opisisi dari fraksi Demokrat. Bahkan baru-baru ini, Kongres AS telah mengeluarkan resolusi untuk menjegal langkah Trump meningkatkan eskalasi lebih jauh hingga kemungkinan perang besar terbuka.
Tak hanya itu, serangan yang menewaskan salah satu orang terpenting di Iran tersebut ternyata sama sekali tidak memiliki legitimasi moral yang memadai dari publik AS sendiri. Hal ini bisa dilihat dari serangkaian demonstrasi yang terjadi pada Sabtu (4/1) di New York, Washington dan beberapa kota lainnya mengecam serangan ini. Para demonstran menuduh Trump hanya mencari muka karena sedang menghadapi tekanan politik di tengah situasi sulit pemakzulan. Situasi ini jelas semakin mengancam elektabilitas Trump yang pada akhir tahun ini akan mengikuti perhelatan pemilu presiden.
Trump pasti sangat sadar akan posisinya saat ini. Dalam realitas politik AS yang begitu kompleks, terutama yang menyangkut kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah, ia tidak bisa menyangkal bahwa prestasi yang selama ini sering digembor-gemborkan pada kenyataannya hanyalah bualan. Di satu sisi Trump ingin tampil sebagai sosok yang tegas dalam menyikapi persoalan geopolitik di kawasan, tetapi di sisi lain dia harus mengakui bahwa pada masa kepemimpinannya, AS mulai banyak kehilangan pengaruh di Timur Tengah. Sementara lawan utamanya, Iran, melalui proksi-proksinya yang tersebar di beberapa negara seperti Hezbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, Hamas di Palestina, Hashed al-Shaabi di Irak semakin memperkuat konsolidasi dan kian sukses menyebarkan pengaruhnya.
Dalam pernyataan sebelumnya, Trump telah menyiapkan 52 target serangan yang tersebar di berbagai titik di Iran. Opsi ini akan diambil oleh Trump jika Iran bersikeras melakukan pembalasana atas militer atau aset-aset AS. Penentuan angka 52 ini merujuk kepada peristiwa menegangkan yang terjadi pasca bergulirnya Revolusi Islam Iran pada 1979, yaitu penyanderaan 52 diplomat AS oleh sekolompok mahasiwa Iran di Kedubes AS, di Teheran selama 444 hari terhitung sejak 4 November 1979 dan baru dilepaskan pada 20 Januari 1981 setelah melalui berbagai negosiasi yang panjang. 52 adalah angka yang bersejarah dalam pasang surut hubungan AS-Iran. Namun setelah Iran melancarkan balasan ke pangkalan militer AS di Ayn Al-Asad dan Erbil, di Irak pada Rabu (8/1), sikap Trump justru melunak dan secara resmi menyatakan menarik diri dari tengah kobaran eskalasi.
Sementara itu, Sekjen Hezbollah di Lebanon, Sayid Hassan Nasrullah dalam pidatonya menyampaikan bela sungkawa sekaligus memberi pernyataan tegas bahwa Qasem Soleimani telah syahid sebagaimana yang dia impikan. Nasrullah secara emosional menggambarkan kesyahidan Soleimani tanpa kepala seperti Husein bin Ali, tanpa kedua tangan seperti Abbas dan tubuhnya hancur seperti Ali Al-Akbar bin Husein. Nasrullah juga menegaskan bahwa tindakan keji AS justru semakin mengobarkan semangat milisi perlawanan yang akan melancarkan balas dendam atas militer AS dan mendesak AS keluar dari Timur Tengah.
Trump mungkin lupa bahwa penduduk Iran memiliki doktrin kuat tentang perjuangan hingga pada titik darah penghabisan dengan menjadikan sosok Husein sebagai simbol sekaligus teladan. Perhitungan Trump jelas salah. Dengan menumpas Soleimani yang begitu mereka agungkan, tidak berarti perlawanan akan terhenti. Justru ia akan menjadi awal mula petaka bagi kepentingan AS di Timur Tengah.
Dalam hal militansi dan doktrin militer, pasukan Iran memiliki legitimasi moral teologis. Hal ini jauh lebih kuat dan mengakar dalam kesadaran bangsa Iran yang mayoritas Syiah. Kesyahidan bagi meraka bukanlah hal yang menakutkan sama sekali, justru kesyahidan bagi mereka adalah puncak tertinggi sebuah harapan. Wallahua’lam.
Dimuat di Radar Madura, Kamis, 16 Januari 2020
1 comments:
Wah, udah jadi penulis kamu, mak?