Memahami Al-Qur’an sebagai wahyu tentu tidak bisa dilepaskan dari
konteks audiens pertama penerima Al-Qur’an, yaitu bangsa Arab Jahiliyah
(pra-Islam) yang realitas budaya dan peradabannya dibentuk dalam tradisi sastra
(puisi) yang sangat kuat.
Bahkan bagi bangsa Arab, puisi merupakan ekspresi primordial dalam
melambangkan identitas dan menggerakkan tatanan sosial dalam bingkat tribalisme
dan fanatisme. Oleh karena itu, bagi bangsa Arab Jahili, penyair bukan tempelan
main-main. “Prefix” ini tidak sekedar menggambarkan “penulis puisi” semata.
Kebanggaan suku dipertaruhkan melalui para penyairnya. Di mata mereka, penyair
selalu memiliki kharisma magis dan suaranya sangat didengarkan.
Dalam tradisi pra-Islam, bangsa Arab sudah mengenal praktik
perdukunan sebagai sebuah fenomena yang memiliki hubungan khusus dengan dunia
perpusian. Relasi antara puisi dan dunia perdukunan merepresentasikan aspek
rasionalitas yang mengakar dalam budaya Arab.
Dengan membangun asumsi bahwa manusia—dalam tingkat
tertentu—dianggap mampu menjalin kontak dengan (alam) jin, utamanya para
penyair yang telah memiliki kepekaan intuitif dalam level eksistensi yang
berbeda, maka hal itu menjadi mudah bagi bangsa Arab untuk memahami fenomena
wahyu yang datang kemudian.
Konsepsi dasar ini pada hakikatnya adalah basis kultural (yang
dipersiapkan Tuhan) untuk menciptakan dialektika antara basis pengetahuan
bangsa Arab dengan konsepsi wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Tentu tak
bisa dibayangkan jika bangsa Arab klasik tidak memiliki konsepsi ini
(komunikasi dengan jin), maka wahyu yang kemudian hari datang kepada mereka
akan sulit dipahami dalam kerangka budaya. Sehingga fenomena kewahyuan
Al-Qur’an sama sekali tidak bisa dipisahkan dari bangunan realitas budaya Arab
sebagai tradisi yang hidup dalam konvensi budaya itu sendiri. Untuk mempermudah
ilustrasi, bisa lihat diagram sederhana berikut:
Wahyu
(Al-Qur'an) > Jibril > Muhammad
Ilham (Puisi) > Jin > Penyair
Hal di atas juga senada dengan pandangan Thaha Husein yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an bagi bangsa Arab tidaklah benar-benar baru, apalagi
asing. Andaikan Al-Qur’an dikatakan baru, maka tidak mungkin bisa dipahami oleh
bangsa Arab pra-Islam sebagai audiens pertama Al-Qur’an serta tidak mungkin
pula sampai terjadi perdebatan dan penentangan yang begitu sengit di antara
mereka. Nilai kebaruan yang dibawa Al-Qur’an lebih menekankan pesan-pesannya,
berupa syariat, agama dan hukum serta gaya retorika bahasanya yang memukau.
Sementara untuk menjawab persoalan bagaiaman proses berlangsungnya
wahyu dalam situasi, realitas dan eksistensi yang berbeda antara Allah, Jibril
dan Nabi Muhammad, di sini penulis perlu menghadirkan pernyataan Nasr Hamid Abu
Zaid yang menukil dari Al-Burhan-nya Al-Zarkasyi:
(Proses berlangsungnya komunikasi dalam
pewahyuan) pertama, Rasulullah terlepas dari eksistensi (fisik) kemanusiaannya
menuju eksistensi (metafisik) kemalaikatan, hingga mampu menerima wahyu dari
Jibril. Kedua, malaikat mengalami transformasi dalam wujud manusia hingga
Rasulullah menerima wahyu dari Jibril (dalam wujud manusia). Situasi yang
pertama merupakan yang paling berat (bagi Nabi).
Konsepsi dalam berlangsungnya komunikasi di atas juga dengan mudah
bisa diterima oleh audiens pertama karena mempresentasikan identitas mereka
secara kultural yang memang telah lama mengenal konsepsi ini. Sementara untuk
membedakan secara analitis dari masing-masing kedua situasi dalam proses
pewahyuan, Nasr menggutip Ibnu Khaldun yang melakukan pembedahan secara lebih
spesifik proses komunikasi dan pesan-pesan wahyu kepada Nabi Muhammad
berlangsung.
Ibnu Khaldun menilai bahwa situasi kedua (malaikat bertransformasi
menjadi manusia) merupakan yang paling tinggi akurasinya. Lebih lanjut dia
membangun argumentasinya dengan berlandaskan pada pernyataan Nabi sendiri,
yaitu وقد وعيت ما قال
untuk kondisi yang pertama dengan menggunakan bentuk kata kerja madhi,
sedangkan untuk kondisi yang kedua, Nabi menggunakan kata kerja mudhari’,
فأعي ما يقول.
Implikasinya adalah, dalam konteks kondisi pertama, Nabi Muhammad
baru bisa memahami pesan-pesan pewahyuan setelah “proses”nya benar-benar
selesai, yaitu ketika suara-suara dengungan itu benar-benar paripurna hingga
Nabi lalu kembali dalam eksistensi fisik kemanusiannya. Sementara dalam konteks
kedua, Nabi mengalami “kesadaran” yang senantiasa beriringan karena proses
pewahyuan disampaikan langsung oleh Jibril dalam wujud manusia. Sehingga kondisi yang pertama wahyu
berlangsung dalam bentuk nonverbal, sedangkan yang kedua dalam bentuk verbal.
Wallahua’lam.
Daftar Bacaan
Husein, Thaha. Fi Al-Adab Al-Jahili.
Kairo: Dar Al-Ma’arif, t.t.
Shalahuddin,
Muhammad. “Memahami Bangsa Penyair (Masyarakat Arab Pra-Islam Dan Puisi-Puisi
Mereka).” Rumahlebah, Ruangpuisi#04 01, no. 04 (2017): 95–112.
Zayd,
Nasr Hamid Abu. Mafhum Al-Nash: Dirasah Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut:
Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-’Arabi, 2014.