Al-Qur’an
pada hakikatnya diturunkan oleh Allah dalam dimensi historis yang konkret dan
dinamis. Maka untuk memahami Al-Qur’an secara sistematis dan komprehensif,
sangat dibutuhkan konstruksi sosial yang melibatkan beragam pengetahuan dan
pengalaman umat Islam, terutama dari para audiens pertama. Bahkan sejak awal, hadirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sejatinya tidak
terlepas dari konstruk sosial masyarakat pra turunnya wahyu.
Artinya
sejak proses turunnya Al-Qur’an yang berlangsung selama 22 tahun 2 bulan 22
hari, banyak sekali dinamika ikut serta hadir bersamanya. Kalau dalam bahasa
Kamaruddin Hidayat “tak ada jarak antara sabda dan peristiwa, sabda menciptakan
peristiwa dan peristiwa mengundang sabda”[1].
Dalam Encyclopaedia of the Qur’an, disebutkan bahwa
Al-Qur’an memiliki persepsinya sendiri atas sejarah. Ia menghadirkan
narasi-narasi tentang umat-umat terdahulu secara silih berganti tanpa adanya
bangunan atau kerangka historis yang bersifat kronologis[2]. Karena ia tidak menghadirkan narasi-narasi
masa lalu dalam spektrum kronologis, tentu menjadi sangat wajar ketika
Al-Qur’an tidak mengenal sifat sistematis dalam perspektif ilmu pengetahuan.
Dan wajar pula jika ada sementara penilaian bahwa narasi-narasi
Al-Qur’an seolah saling tumpang tindih satu sama lain yang disebabkan karena
seringkali suatu pembahasan/ayat dalam surat tertentu tiba-tiba terputus (belum
tuntas) dan pindah pada bagian (surat) yang lain. Sederhanya, Al-Qur’an tidak
turun sebagai buku sejarah, yang secara spesifik hanya untuk mengabarkan
kisah-kisah terdahulu. Justru Al-Qur’an hadir untuk melampaui semua itu, semua
persepsi-persepsi manusia tentang kemapanan, baik itu yang menyangkut
perdebatan seputar faktualitas kisah-kisahnya ataupun dari aspek retorika
bahasanya yang bernilai sastrawi tinggi.
Menurut Ingrid Mattson, ada dua faktor mengapa kalangan awal umat
Islam memiliki ketertarikan untuk menelaah kesejarahan Al-Qur’an. Pertama, karena
adanya dorongan untuk memelihara dan menggali lebih dalam informasi tentang
sosok Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu. Kedua, dimensi historis
proses pewahyuan Al-Qur’an sering kali menjadi kunci utama untuk memahami
keutuhan makna berdasarkan konteks tertentu. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang
merujuk baik itu kepada sosok, kelompok atau juga terhadap peristiwa tertentu
yang kemudian orang Islam perlu memahami kata-kata kunci ini dengan mengaitkan
pada kisah dan konteks sebagaimana adanya[3].
Memang jika berdasarkan pada sumber-sumber klasik tentang kronologi
Al-Qur’an, para ulama—salah satunya adalah Ibnu Katsir sebagaimana akan dikutip
kemudian—menekankan pada aspek riwayat yang menyatakan bahwa urutan ayat-ayat
Al-Qur’an adalah tauqifi (ketetapannya langsung dari Allah). Adapun
urutan surat demi suratnya adalah ijtihadi, yaitu berdasarkan ijtihad
Utsman bin Affan, saat menjabat sebagai Khalifah ketiga. Dan implikasinya jelas
bahwa seseorang tidak diperkenankan membaca ayat-ayat Al-Qur’an di luar urutan
yang telah ditetapkan sesuai dengan mushaf yang ada, sementara untuk pembacaan
surat, tidak demikian. Berikut pernyataan lengkap Ibnu Katsir:
أن ترتيب الآيات فى السور أمر توقيفي متلقى عن
النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وأما ترتيب السور فمن أمير المؤمنين عثمان بن عفان -رضى الله عنه،
ولهذا ليس لأحد أن يقرأ القرآن إلا مرتبا آياته، فإن نكسه أخطأ خطأ كبيرًا, وأما
ترتيب السور فمستحب[4].
Selanjutnya,
Ingrid Mattson menyebutkan bahwa pembacaan atas konteks pewahyuan Al-Qur’an ditentukan
setidaknya oleh dua hal pokok, pertama adalah sirah yang memotret
kehidupan Nabi dalam berbagai aspkenya dan kedua adalah asbab al-nuzul (sebab
turunya ayat) yang mencoba merekam konteks dalam ruang lingkup sosial-budaya di
mana ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan.
Bahkan
para ulama terdahulu melakukan penataan atas berbagai riwayat yang ada dengan
beragam cara: mereka membuat daftar ayat-ayat yang diturunkan pada siang hari
dan malam hari, pada musim panas dan musim dingin, yang diturunkan kepada Nabi
ketika dalam perjalanan dan ketika di rumah serta ayat-ayat yang diturunkan di
bumi dan di langit[5].
Dari
sekian konsepsi-konsepsi yang ada ini terdapat metakonsepsi, yaitu Makkiyah dan
Madaniyah. Keseluruhan konsepsi-konsepsi tersebut jelas mengandalkan
pembacaan atas Al-Qur’an berdasarkan aspek kronologis untuk memperoleh suatu
rangkaian paralel yang senantiasa merawat keterhubungan teks dengan audiens
pertama hingga generasi-generasi sesudahnya sesuai dengan dinamikanya
masing-masing. Sebab istilah Arkoun, meskipun Al-Qur’an disebut sebagai “Korpus
Teks Suci Resmi Tertutup (Corpus Officielle Clos), dalam kenyataannya
tetap merupakan korpus terbuka, yang terus menerima berbagai konteks pemaknaan
yang beragam[6].
Daftar
Bacaan
Armstrong, Karen. Sejarah Alkitab: Telaah Historis Atas
Kitab Yang Paling Banyak Dibaca Di Seluruh Dunia. Translated by Fransiskus
Borgias. III. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.
Baidhowi.
Antropologi Al-Qur’an. II. Yogyakarta: LKiS, 2013.
Katsir,
Abu Al-Fida’ Ismail bin Umar bin. Fadhail Al-Qur’an. I. Maktabah Ibnu
Taimiyah, 1416.
Mattson,
Ingrid. Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah Dan
Sejarah Al-Quran. Translated by R. Cecep Lukman Yasin. I. Jakarta: Penerbit
Zaman, 2013.
McAuliffe,
Jane Dammen, ed. Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Koninklijke Brill,
2001.
[1] Pengantar oleh Kamaruddin Hidayat mengulas
seputar fenomena wahyu dan kitab suci yang perlu didekati melalui pendekatan
sosiologis-historis dengan mempertimbangkan aspek-aspek kesejarahan dan
dinamiki sosial. Lihat Karen Armstrong, Sejarah Alkitab: Telaah Historis atas Kitab yang
Paling Banyak Dibaca di Seluruh Dunia, trans. Fransiskus Borgias, III
(Bandung: Penerbit Mizan, 2014), 11.
[3] Ingrid Mattson, Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami
Konteks, Kisah Dan Sejarah Al-Quran, trans. R. Cecep Lukman Yasin, I
(Jakarta: Penerbit Zaman, 2013), 46–47.
[4] Abu Al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Fadhail Al-Qur’an, I
(Maktabah Ibnu Taimiyah, 1416), 73.
[5] Mattson, Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami Konteks,
Kisah Dan Sejarah Al-Quran, 55.