1
Para penyair di tanah yang terjajah
lembaran-lembaran buku tulis kalian
tercelup ke dalam air mata dan tanah
gataran suara di kerongkongan kalian
serupa sakaratulmaut saat digantungan
warna tinta kalian
tampak seperti leher orang-orang yang dipenggal
kami belajar dari kalian
kami adalah kumpulan penyair yang kalah
kami adalah orang-orang
yang diasingkan dari sejarah
juga dari kesedihan orang-orang yang sedih
bagaimana sebuah aksara
memiliki bentuk pisau
Para penyair di tanah yang terjajah
oh burung paling indah
yang datang dari malam isra’
oh kesedihan
pada kedua mata yang bening
dan terang seperti waktu salat fajar
oh bunga yang tumbuh
dari bagian dalam bara api
oh hujan yang menetes
meski tersakiti dan tertindas
bagaimana orang yang tenggelam
mampu bernyanyi
dari kedalaman lautan
bagaimana kuburan bisa berjalan
kami belajar
bagaimana puisi itu ada
karena bagi kami
para penyair telah mati
puisi juga mati
bagi kami
puisi adalah darwis
yang berputar-putar di majelis zikir
seorang penyair kini
bekerja sebagai sais untuk pangeran
penyair dikebiri bibirnya
ia bertugas membersihkan mantel penguasa
menuangkan anggur ke dalam cawannya
betapa menyakitkan
ketika yang dikebiri adalah pikiran
Para penyair di tanah yang terjajah
oh sinar matahari
yang lenyap dari lubang pintu
oh suara genderang
yang ditabuh dari dalam semak-semak belukar
oh seluruh nama
yang melekat pada bulu mata
apa yang bisa kami kabarkan
kepada orang-orang tercinta
tentang sastra Nakbah
tentang puisi Naksah
tentang pikiran Naksah
oh orang-orang tercinta?
kami masih menjadi penulis
merebahkan tubuh di atas bantal
kami bermain-main
dengan sintaksis dan morfologi
para teroris menginjak tengkorak kami
lalu kami menciumi kaki mereka
merangkai kuda dari bambu
memerangi hantu dan fatamorgana
wahai Tuhan yang maha tinggi
kami orang-orang lemah
engkau dzat yang maha menang
kami orang-orang fakir
engkau dzat yang memberi rezeki
kami kumpulan pengecut
engkau dzat yang maha mengampuni
saraf-saraf kami lumpuh
kehormatan Yerussalem sudah dilecehkan
Salahuddin adalah seorang tawanan
lalu pantaskah bila kami
masih menyebut diri kami sebagai penulis?
Selamat tinggal, Mahmoud Darwish[1]
selamat tinggal, Taufiq Ziyad[2]
selamat tinggal, Fadwa Tuqan[3]
kalian yang mengorbankan diri
demi sebuah pena
kami belajar dari kalian
bagaimana meledakkan ranjau dalam kata-kata
di Timur
para darwis kata-kata
masih terus mengganggu kawanan merpati
masih menghirup teh
masih menelan impian
berdiri di hadapan sajak-sajak kalian
mereka akan tampak seperti kurcaci!
[1] Mahmoud Darwish (1941-2008 M.) adalah salah satu penyair Palestina yang banyak menyuarakan dan terlibat langsung dalam upaya pembebasan Palestina. Saat peristiwa Nakbah 1948, Darwish bersama keluarganya terpaksa ikut mengungsi ke Lebanon setelah negerinya porak-poranda. Darwish memiliki hubungan dekat dengan Yasir Arafat, ia juga pernah menjabat sebagai anggota Komite Eksekutif di Palestine Liberation Organization (PLO) dan beberapa kali menuliskan naskah pidato untuk Arafat.
[2] Taufiq Amin Ziyad (1929-1994 M.) adalah seorang penyair dan politikus Palestina. Ia tergabung sebagai anggota di partai Rakah, salah satu partai di Israel yang berhaluan komunis. Meski ia menjadi bagian dari Knesset (parlemen Israel) sebagai seorang politisi, namun ia tetap konsisten menekuni dunia kepenyairan. Bahkan puisi-puisinya selalu menyuarakan semangat perlawanan. Hingga kini, beberapa puisi Taufiq Amin masih hidup dalam gubahan lagu-lagu perlawanan di Palestina.
[3] Fadwa Tuqan (1917-2003 M.) adalah penyair perempuan Palestina yang paling menonjol di abad 20. Sebagai penyair perempuan, ia berhasil menyuarakan gagasan-gagasan perlawanan yang mewakili kaum perempuan di Palestina. Mahmoud Darwish pernah menyebutnya sebagai “Induk Puisi Palestina”.
Sumber: Tanah yang Terjajah (Diva Press, 2021), terjemahan Musyfiqur Rahman, hlm. 152.