Bulan suci itu bernama
Ramadan. Kita bersuka cita menyambut kedatangannya. Di mana-mana orang-orang
mulai sibuk menyiapkan diri, menata hati dan meneguhkan iman seraya tak henti
bersyukur pada Tuhan. Di mana-mana Ramadan selalu indah, selalu spesial dan
selalu penuh kejutan, tentu juga penuh dengan celetoh receh ala anak muda
sekarang seperti “berbukalah dengan yang manis-manis” atau “tidurnya orang
berpuasa adalah ibadah” dan semacamnya.
Belum lagi orang-orang
yang hidup di perantauan, mereka pasti punya gairah tersendiri menyambut
kedatangan Ramadan. Bagi kalangan ini, Ramadan punya nilai unik karena mampu
melahirkan gerakan takjil militan yang biasanya membentuk kelompok
kecil-kecilan untuk saling berkabar info perihal menu dan porsi takjil, lokasi
masjid dan lainnya. Mereka biasanya akan menjajaki setiap masjid dari yang
paling kecil hingga yang paling besar, dari yang kajiannya hanya diisi oleh
pengurus takmir sendiri hingga yang diisi oleh tokoh-tokoh kenamaan. Meski bagi
mereka, menu apa dan berapa porsinya jauh lebih penting dari apa meteri kajian
dan siapa pembicaranya.
Ramadan seolah punya
takdirnya sendiri bagaimana ia disambut dan bagaimana ia dirayakan. Tentu yang
paling penting bukan bagaimana Ramadan disambut dan dirayakan, melainkan
bagaimana ia dihayati. Penghayatan lebih menekankan pada substansi, bukan
selebrasi. Salah satu penghayatan terpenting adalah menjalankan ibadah puasa
dengan hati lapang, tanpa rasa jumawa.
Saya termasuk orang yang
percaya bahwa setiap bulan Ramadan tiba, para setan terkutuk itu diborgol.
Anggap saja mereka lagi nganggur. Sehingga mungkin saja peran mereka digantikan
oleh sejumlah manusia yang berpuasa dan merasa berhak melakukan tindakan
intimidasi pada orang lain. Dalih “aku sedang berpuasa” atau “inni shaimun”
seringkali dijadikan alasan pembenaran. Kadang saya malah mikir, sepertinya
lebih baik setan tak diborgol. Karena kalau pekerjaan mereka digantikan oleh
umat manusia malah jadi lebih bahaya.
Kita berpuasa agar
merasakan lapar sehari penuh seperti saudara-saudara kita yang setiap hari
selalu kelaparan. Merasakan lapar yang nyata dan menghayati kemiskinan yang
menimpa saudara-saudara kita. Sangat menyedihkan bila kita berpuasa sekedar “al-imsak
‘an mufthirin” (menahan diri dari yang membatalkan puasa), padahal puasa
kita akan lebih bernilai ketika mampu membangkitkan rasa solidaritas dan
menekan sikap keangkuhan yang ada dalam diri kita.
Sikap keangkuhan yang biasanya
terjadi di bulan Ramadan adalah penutupan warung makan secara paksa dan
sewenang-wenang oleh sekelompok kalangan yang menuntut orang lain menghormati
mereka karena menjalani ibadah puasa. Ramadan hadir untuk menundukkan sikap
keangkuhan, mereka menyambut Ramadan dengan memupuk sikap keangkuhan. Syariat
puasa menyisakan ruang-ruang toleransi untuk mereka yang uzur secara syariat
bisa tidak berpuasa, mereka datang menutup ruang-ruang toleransi itu secara
membabi buta. Di tangan-tangan mereka, citra Ramadan terasa menakutkan.
Orang-orang yang melakukan
penutupan warung makan secara arogan sejatinya 'tak wajib berpuasa', karena
ibadah puasa hanya wajib bagi orang-orang yang beriman dan mampu
melaksanakannya.
Kalau melihat warung makan
saja iman mereka sudah goyah, artinya mereka tak lagi punya empati kepada
orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa secara syariat; anak kecil, musafir,
orang sakit, perempuan haid/menyusui. Hanya karena kita berpuasa, tidak berarti
seluruh penghormatan mutlak menjadi milik kita. "Inni shaim" bukan
mantra apologia untuk mengintimidasi orang lain yang tidak berpuasa.
Prinsip sederhana yang
saya pegang teguh:
Saya harus menghormati
Anda, meski Anda tidak puasa. Anda tak harus menghormati saya, meski saya
sedang puasa.
Menjelang bulan suci ini,
mari kita rayakan Ramadan dengan penuh penghayatan. Mari kita jaga hak-hak dan
kenyamanan orang lain yang tidak berpuasa, apapun alasannya. Yang terpenting,
mari kita berpuasa tanpa rasa jumawa.