Dunia virtual kita sesak dengan tagar. Saya, Anda, dan mereka
umumnya pernah menciptakan tagar, atau paling tidak pernah ikut nimbrung dalam
suatu percakapan yang ditandai dengan tagar tertentu, mulai dari yang unik,
yang vulgar, yang agamis, yang barbar dan yang ayang-ayangan.
Tagar memang memiliki kekuatan yang ampuh untuk meningkatkan
intensitas percakapan di media sosial. Tak heran banyak orang memiliki lebih
dari satu akun untuk kepentingan mendongkrak suatu isu yang menjadi perhatian
utama mereka. Gara-gara tagar, seringkali pergerakan algoritma media sosial tak
menentu, tak tertebak. Sama seperti jodoh Anda.
Saya juga gemar mengikuti tagar-tagar tertentu. Biasanya tagar
yang berhubungan dengan One Piece, Naruto dan berita mancanegara. Tapi jika
dorongan untuk mengumpat dan marah-marah tiba-tiba datang, biasanya saya
nimbrung di tagar yang membawa isu politik tanah air. Di situlah kadang saya
mengumpat sesuka hati, seperti bangs*t, anj*ng, dan sejenisnya. Tentu harus saya
sensor karena aparat kita sering melakukan patroli di media sosial. Jadi aman.
Tapi tahukah Anda, di sekitar kita ada banyak orang-orang yang
gemar menciptakan tagar bijak dan Islami tapi kelakuannya bak iblis? Berdalih mensyiarkan
Islam dengan kutipan-kutipan indah penuh motivasi, padahal history
penelusurannya banyak berlabuh di situs po**hub atau sejenisnya? (NB: tolong
jangan tanya kenapa saya tahu. Man lam ya’rif al-syarr yaqa’ fihi, saya
harus tahu agar tak terjerumus lebih jauh.)
Orang-orang macam itu biasanya tak mampu menjaga keseimbangan
antara amal dan syiar. Seolah Islam cukup disampaikan dengan satu kutipan
gambar, potongan ayat dan hadis atau sepenggal pernyataan sahabat dan ulama
semata untuk kepentingan diri sendiri. Gairah mereka biasanya akan semakin
menggebu ketika ada momen-momen tertentu dalam Islam. Dan Ramadan menjadi momentum
terbesarnya.
Ramadan memang menjadi ladang kebaikan. Berlomba kebaikan
dalam Ramadan tentu sangat dianjurkan. Semua amal kebaikan dilipatgandakan.
Bahkan konon, para setan “diistirahatkan”. Tapi siapa sangka, dengan penuh
heroik mereka datang berbondong-bondong, mengabarkan pesan-pesan kebaikan
dengan bermacam tagar, padahal semua itu hanyalah “seolah-olah”. Membangun
syiar di atas “seolah-seolah” jelas merupakan tindakan tak bertanggungjawab.
Hisabnya jelas, mengapa kamu mengatakan apa yang tak kamu kerjakan?
Tagar “#RamadanKareem” sebentar lagi akan menjadi
trending di mana-mana, mungkin juga di berbagai belahan dunia. Tapi apakah
tagar tersebut mampu membawa pesan-pesan substansial dari bulan suci ini?
Entah. Lalu apa pentingnya postingan “selamat berbuka puasa” yang disertai
tagar “#RamadanKareem” padahal nyaris waktu seharian dihabiskan hanya dengan
tidur?
Setelah berbuka puasa kita langsung mengambil hp, lalu
mengirimkan pesan-pesan indah tentang fadilah salat tarawih (tentu tak lupa
tagar “#RamadanKareem”) kepada seluruh nomor yang tersimpan di kontak,
berharap mendapat limpahan pahala dari langit. Padahal baru salat tarawih di
malam pertama, kita sudah mengumpat sendiri gara-gara imam tak secepat
Valentino Rossi. Ternyata, salat tarawih tak seindah fadilahnya yang kita
sebarkan sebelumnya.
Selain menghiasi pesan-pesan fadilah tarawih, “#RamadanKareem”
juga turut menghiasi berbagai aktivitas yang diabadikan dalam berbagai media
sosial. Ngabuburit #RamadanKareem, buka puasa #RamadanKareem,
salat tarawih #RamadanKareem, tadarus #RamadanKareem,
menghatamkan al-Qur’an #RamadanKareem, salat tahajud #RamadanKareem,
sahur #RamadanKareem. Bahkan lagi galau juga tak luput dari #RamadanKareem.
Pokoknya dunia virtual ini sesak dengan #RamadanKareem.
Bagaimana pun, Ramadan itu indah dan layak dirayakan dengan
berbagai ekspresi. Tak ada yang salah dalam mengekspresikan bulan suci ini asal
tak merugikan orang lain. Tentu Anda juga bebas menggunakan tagar #RamadanKareem,
apapun motivasi Anda. Yang terpenting, kita tak boleh hanya merayakan
Ramadan dengan tagar di mana-mana tapi malah kehilangan makna. Selamat bertagar
ria, semoga mendapat pahala. Tapi mohon maaf, tahun ini saya absen dari tagar #RamadanKareem.