AKU PENDAM CINTAKU PADAMU
Aku pendam cintaku padamu
Sebagai bentuk penghormatan
Sebab cinta sama saja
Baik yang aku pendam
Atau yang aku ungkapkan
Seolah cintaku kian membuncah
Deras mengaliri tubuhku
Dan sakit rasanya
Tubuh yang memendam cinta
AKU DISAMBUT DENGAN PERPISAHAN
Puisi pertama yang dilantunkan secara spontan saat
al-Mutanabbi masih kecil:
Demi ayahku
Aku berpisah dengan orang yang aku cinta
Beberapa waktu kemudian
Tuhan mempertemukan kita kembali
Satu tahun lamanya kita berpisah
Dan pada saat kita berjumpa
Dia malah menyambutku dengan perpisahan
PUISI YANG INDAH
Pernah saat berada di perpustakaan, al-Mutanabbi ditanya, “Puisi indah itu seperti apa?”. Ia menjawab dengan puisi ini:
Puisi yang indah itu
Hanya bisa kau lihat
Ketika pedang-pedang saling beradu
Dalam sebuah peperangan
Pada diri seorang pemuda
Yang dihujani tombak
Hingga berdarah-darah
Membasahi cambangnya
MATI DI MEDAN PERANG SEPERTI MANISNYA MADU DI MULUT
Sampai kapan kau akan hidup
Dengan pakaian setengah telanjang
Sampai kapan kau akan hidup
Dalam kesusahan
Kau bisa memilih mati
Dalam kehinaan
Atau, lebih baik mati mulia
Ditebas pedang dalam peperangan
Demi Tuhan
Bergegaslah seperti orang gagah
Yang melihat maut dalam caci maki
Bagaikan lebah
Mengalirkan madu dalam mulut
AKU CEMBURU PADA CAWAN
Al-Mutanabbi menemui Ali bin Ibrahim al-Tanukhi, lalu mempersembahkan secawan anggur padanya sambil bersyair:
Bila cawan anggur tak menggetarkan kedua tanganku
Aku pun tersadar kau tak lagi diam antara aku dan jiwaku
Aku meninggalkan arak seperti emas murni
Arakku adalah awan berair seperti buih mulut kuda
Aku cemburu pada cawan, yang mengalirkan anggur
Pada bibir al-Amir Abu al-Husain
Seolah bening kacanya dan arak di dalamnya
Adalah putih mata yang mengelilingi biji mata
Kami datang padanya memohon pemberian
Ia menegaskan akan mencatatnya sebagai hutang
Sumber: Diwan al-Mutanabbi (Dar Beirut, Beirut: 1983). Diterjemahkan oleh Musyfiqur Rahman
Al-Mutanabbi bernama lengkap Ahmad bin al-Husein al-Ja’fi al-Kindi al-Kufi (915-965 M.). Hidup di era Daulah Abbasiyah dan namanya tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah sastra Arah sebagai salah satu penyair terbaik. Al-Mutanabbi menggubah syair sejak dia berusia 9 tahun. Ia begitu fasih mengekspresikan gubahan-gubahan puitisnya yang menyangkut tema perang, gairah petualangan, keberanian dan kadang penuh keangkuhan. Al-Mutanabbi mati dibunuh karena gubahan puisi caci makinya atas Dhabbah din Yazid al-Asadi.
Demi ayahku
Aku berpisah dengan orang yang aku cinta
Beberapa waktu kemudian
Tuhan mempertemukan kita kembali
Satu tahun lamanya kita berpisah
Dan pada saat kita berjumpa
Dia malah menyambutku dengan perpisahan
PUISI YANG INDAH
Pernah saat berada di perpustakaan, al-Mutanabbi ditanya, “Puisi indah itu seperti apa?”. Ia menjawab dengan puisi ini:
Puisi yang indah itu
Hanya bisa kau lihat
Ketika pedang-pedang saling beradu
Dalam sebuah peperangan
Pada diri seorang pemuda
Yang dihujani tombak
Hingga berdarah-darah
Membasahi cambangnya
MATI DI MEDAN PERANG SEPERTI MANISNYA MADU DI MULUT
Sampai kapan kau akan hidup
Dengan pakaian setengah telanjang
Sampai kapan kau akan hidup
Dalam kesusahan
Kau bisa memilih mati
Dalam kehinaan
Atau, lebih baik mati mulia
Ditebas pedang dalam peperangan
Demi Tuhan
Bergegaslah seperti orang gagah
Yang melihat maut dalam caci maki
Bagaikan lebah
Mengalirkan madu dalam mulut
AKU CEMBURU PADA CAWAN
Al-Mutanabbi menemui Ali bin Ibrahim al-Tanukhi, lalu mempersembahkan secawan anggur padanya sambil bersyair:
Bila cawan anggur tak menggetarkan kedua tanganku
Aku pun tersadar kau tak lagi diam antara aku dan jiwaku
Aku meninggalkan arak seperti emas murni
Arakku adalah awan berair seperti buih mulut kuda
Aku cemburu pada cawan, yang mengalirkan anggur
Pada bibir al-Amir Abu al-Husain
Seolah bening kacanya dan arak di dalamnya
Adalah putih mata yang mengelilingi biji mata
Kami datang padanya memohon pemberian
Ia menegaskan akan mencatatnya sebagai hutang
Sumber: Diwan al-Mutanabbi (Dar Beirut, Beirut: 1983). Diterjemahkan oleh Musyfiqur Rahman
Al-Mutanabbi bernama lengkap Ahmad bin al-Husein al-Ja’fi al-Kindi al-Kufi (915-965 M.). Hidup di era Daulah Abbasiyah dan namanya tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah sastra Arah sebagai salah satu penyair terbaik. Al-Mutanabbi menggubah syair sejak dia berusia 9 tahun. Ia begitu fasih mengekspresikan gubahan-gubahan puitisnya yang menyangkut tema perang, gairah petualangan, keberanian dan kadang penuh keangkuhan. Al-Mutanabbi mati dibunuh karena gubahan puisi caci makinya atas Dhabbah din Yazid al-Asadi.