SURAT TAK TERKIRIM
Duniamu
Tidaklah menakutkanku
Ketika cinta kita terlahir
Terungkaplah keluarganya
Ia punya saudara kembar bernama rasa sakit
Punya sahabat bernama kebebasan
Punya pendamping bernama kematian
Punya takdir bernama perpisahan
Punya pembersih bernama aksara
Aku tak bisa berdiri di hadapan kertas yang indah
Yang dikotori oleh gairahku untuk memilikimu
Juga oleh rasa dendam dan rasa getirku
Dan debu perang kita yang masih bertebaran di bawah panji-panji
cinta
(Oh, seringkali tingkah laku para kekasih serupa tipu daya
para musuh)
Agar aku bisa pergi menuju kertas
Aku harus berwuduk dengan tenang
Berniat dengan tulus
Salat dengan khusuk
Dengan ketegaran seseorang yang pergi menyambut kematian
Aku memaafkan dirimu
Atas apa yang belum terjadi dan apa sudah terjadi
8/12/1989
SURAT PEREMPUAN PENCINTA UNTUK KEBEBASAN
Duniamu tak menarik minatku
Ini aku terjun dari pesawat
Lalu berjalan di bandara kota baru
Melewati para penjemput yang membawa papan nama
Aku juga pegang papan nama di tanganku
Bertuliskan:
“Aku tak mengenal siapapun, aku tak sedang menunggu
siapa-siapa
Aku tak menginginkan apapun, selain kebebasanku
Jangan tanya namaku, barangkali aku tak punya nama
Jangan tanya tanah airku, barangkali tanah airku adalah buku
tulisku
Jangan tanya kekasihku, barangkali kekasihku adalah lupa
Jangan tanya ayahku, barangkali ayahku adalah pengasingan
Tanyakan ibuku, karena ibuku adalah satu-satunya hal yang aku
tahu
Ibuku bernama kebebasan!”
8/12/1989
SURAT DARI PEREMPUAN PENCINTA GURUN SAHARA
Permukaan es berkata padaku:
Aku akan meleleh saat kau menyentuhku
Permukaan gurun sahara berkata padaku:
Kau akan terbakar bersamaku saat kau menyentuhku
Barangkali karena itulah aku menyukai gurun sahara
Namun aku malah meninggalkannya lalu beralih pada kekasihku
yang dingin
7/10/1994
SURAT DARI PUAN KERINDUAN
Aku duduk di kafe pinggir pantai
Merenungkan perahu yang muncul dari laut tak bertepi
Melihatmu datang dari benua seberang
Berjalan di atas air
Sambil bergegas untuk minum kopi bersamaku
Seperti kebiasan kita sebelum kamu meninggal
Tak ada yang berubah di antara kita
Namun aku tetap menjaga perjumpaan kita sebagai rahasia
Karena anggapan orang-orang di sekitar kita
Orang yang sudah mati tak akan pernah kembali
6/61996
SURAT DARI PUING-PUING CINTA
Dia bertanya padaku:
Berapa banyak dosa yang kau perbuat
Atas nama kebebasan, wahai perempuan?
Aku balik bertanya:
Berapa banyak dosa yang kau perbuat
Atas nama kejantanan dan keperkasaan?
Aku harus menembakkan peluru
Pada ingatan tentang dirimu
Untuk melindungi kelangsungan hidupku
Namun aku juga harus menolak lupa atas dirimu
Untuk melindungi kemanusianku
Yang terbentang antara iya dan tidak
Aku berjalan menuju hari esok
Satu kaki terbenam es
Yang satu lagi terbenam bara api
Namun aku tak berhenti
Penopang diriku adalah pena
Beragam kesedihan para perempuan di negeriku
Telah melintasi banyak masa
Rintihan mereka menjalariku
Dalam tipu daya kegelapan, tangisan dan cemeti
Tubuhku menyusut berserakan
Lalu mereka membuatnya menyala seperti lampu
Getaran dada mereka membuatku gemetaran seperti burung pipit
Yang ingin melesat dari sangkar tak kasatmata
Banyak generasi para perempuan berenang dalam nadiku
Namun seorang algojo memburu mereka!
Sarang-sarang penuh bisikan telah pergi
Sayap-sayapku menyampaikan deklarasi melawan reruntuhan
Aku tak akan pernah menjadi kelelawar
Menghabisi seluruh hidupnya dengan bergelantungan melawan
gravitasi
Untuk menganggap bahwa dunia yang terbalik tampak baik-baik
saja
Ratusan tahun aku menggigit rantai yang membelenggu, dengan
tenang
Ratusan tahun aku menolak hidup damai
Berdampingan dengan wortel dan tongkat
Ratusan tahun guruku adalah burung beo
Yang dengan sia-sia berusaha mengajariku
Bagaiamana aku mengatakan apa yang tak aku pikirkan
Dan melakukan apa yang tak aku suka?
Inilah aku!
Membuka pintu angkasa
Tak ada lagi pementasan drama di penghujung komedi
Mengenangmu adalah puing-puing cinta
Yang telah kehilangan arah
Di masa-masa berat
Apakah aku sedih?
Justru aku takut kegirangan
Sebab ia adalah lelaki yang sembrono, hangat dan kaku
12/8/1992
Puisi-puisi ini diterjemahkan oleh Musyfiqur Rahman.
Ghadah al-Samman, penulis dan
sastrawan Suriah kelahiran 1942. Debut buku puisinya terbit pada tahun 1962
berjudul ‘Ainak Qadari. Sejak saat itu Ghadah mulai punya pengaruh
sebagai penulis perempuan yang punya kosentrasi besar pada isu-isu seputar
perempuan. Kini di usianya yang ke-80 tahun, Ghadah sudah menghasilkan tak
kurang dari 30-an buku mulai dari puisi, cerpen, novel, catatan perjalanan dan
lainnya.