-->

Type something and hit enter

On



Dari buku-buku sejarah kita mengetahui bahwa Imperium Muslim pernah mencapai puncak keemasannya di masa Daulah Abbasiyah. Perhatian para penguasa terhadap pengetahuan sangat tinggi. Para ulama, guru, sastrawan, kritikus, pakar bahasa, dan intelektual begitu diagungkan. Rezim di masa keemasan itu tak segan-segan menggelontorkan pundi-pundi istana untuk mengapresiasi para ilmuan tersebut.


Namun di balik keemasan Daulah Abbasiyah yang begitu gemilang, ada sisi gelap yang jarang diketahui banyak orang. Jika kita selalu membayangkan bahwa profesi guru di masa Daulah Abbasiyah adalah profesi yang paling terhormat dan mulia, maka sisi gelap ini akan membuat kita menyadari bahwa tak pernah ada peradaban yang sempurna.


Al-Jahidh mencatat bahwa ada sebuah peribahasa terkenal di kalangan masyarakat awam:


أحمق من معلم كتاب


"Lebih bodoh dari guru Kuttab (Kuttab adalah lembaga pendidikan dasar tradisional)."


Peribahasa ini biasa digunakan untuk meledek seseorang yang dianggap sangat bodoh dengan menjadikan “guru Kuttab/guru ngaji” sebagai tolak ukurnya. Ini sangat ironi. Bayangkan ada orang bodoh yang diledek dengan ungkapan, “Kamu lebih bodoh dari seorang guru ngaji.” Apa artinya? Peribahasa ini menjadikan guru ngaji sebagai standar orang bodoh! Profesi guru ngaji adalah profesi yang hina, atau sekurang-kurangnya, profesi yang dijadikan bahan olok-olok dan candaan. Dan itu terjadi persis saat Daulah Abbasiyah sedang di puncak kejayaannya.


Seorang penyair mempertegas peribahasa diskriminatif itu dengan syair berikut:


وكيف يرجّى العقل والرأي عند من

يروح على أنثى ويغدو على طفل


“Bagaimana mungkin bisa diharapkan pikiran dan pendapat dari seseorang

Yang dekat dengan wanita dan akrab dengan anak kecil (maksudnya adalah guru ngaji anak-anak)?”


Al-Jahidh juga mengutip pendapat seorang bijak yang tampak kurang bijak: 


وفي قول بعض الحكماء: لا تستشيروا معلما ولا راعي غنم ولا كثير القعود مع النساء


“Jangan konsultasi kepada seorang guru, gembala kambing dan orang yang suka nongkrong dengan para wanita.”


Al-Jahidh tak terima dengan ungkapan di atas dan memberikan komentar menohok:


فأما استحماق رعاة الغنم في الجملة فكيف يكون ذلك صوابا وقد رعى الغنم عدة من جلة الأنبياء صلى الله عليهم


“Adapun penghinaan terhadap para gembala kambing secara umum, bagaimana bisa hal itu dianggap benar, padahal beberapa nabi yang mulia pernah menggembala kambing?”


Ungkapan “lebih bodoh dari guru ngaji” rasanya tak pernah dialami oleh Ali bin Hamzah al-Kisa’i, guru Harun al-Rasyid, tak pernah dirasakan oleh Abu Muhammad al-Yazidi, guru Abdullah al-Makmun dan tak pernah pula menimpa Harun bin Ziyad, guru Abu Ja’far Harun al-Watsiq Billah. Ketiga guru ini—serta masih banyak nama-nama lainnya—punya privilese dekat dengan para khalifah. Sedangkan di pelosok-pelosok daerah yang jauh dari pusat kemajuan kota, nasib guru ngaji begitu memprihatinkan.


Ketimpangan itu selalu ada, di setiap masa..


Selamat Hari Guru...

Post a Comment
Click to comment
 

MARI BERLANGGANAN!