Pada tanggal 9 April lalu, sebelum
kunjungan kenegaraan ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Presiden Prabowo Subianto
menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. Menurutnya, Indonesia akan membuka
peluang untuk menerima sejumlah pengungsi dari Gaza, Palestina, sebagai tempat
penampungan sementara. Prioritas akan diberikan kepada warga yang membutuhkan
perawatan medis dan pemulihan mental akibat serangan brutal Israel. Korban
perang itu akan langsung dipulangkan ke Palestina setelah menjalani proses
pemulihan.
Pernyataan ini sontak
membangkitkan memori kelam peristiwa Nakbah 1948, yang dalam bahasa Arab
berarti "malapetaka/bencana". Peristiwa tragis tersebut menjadi titik
balik bagi bangsa Palestina, di mana lebih dari 750.000 warga Palestina terusir atau dipaksa
mengungsi dari tanah kelahiran mereka akibat perang dan pembentukan negara Zionis-Israel.
Mereka kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan komunitas yang telah
mereka bangun selama puluhan generasi.
Ironisnya, janji kepulangan para
pengungsi Nakbah 1948 hingga kini tak pernah terwujud. Mereka dan keturunan
mereka tersebar di berbagai negara-negara Arab, hidup terkatung-katung dalam
status pengungsi, tanpa pernah diizinkan kembali ke kampung halaman yang kini telah
dijarah dan diduduki Israel. Larangan kembali ini menjadi luka abadi dalam
ingatan kolektif bangsa Palestina dan menjadi salah satu akar konflik yang
berkepanjangan. Bahkan banyak generasi ketiga korban eksodus Nakbah 1948 itu
yang hingga kini masih menyimpan kunci rumah lama mereka. Dan rumah-rumah yang
dulu mereka tinggalkan demi mencari suaka, kini telah berubah menjadi pemukiman
warga Israel.
Jika dikaitkan dengan konteks
Nakbah 1948, rencana Presiden Prabowo untuk menampung sementara warga Gaza jelas
memunculkan beragam bersoalan baru. Meskipun niat kemanusiaan di baliknya patut
diapresiasi, tapi pengalaman pahit Nakbah 1948 mengajarkan satu hal penting,
bahwa pengungsian, sekali terjadi, dapat menyebabkan situasi yang lebih buruk
dan justru menimbulkan krisis berkepanjangan yang berujung penghilangan hak untuk
kembali.
Janji pemulangan warga Gaza
setelah pulih tentu “omon-omon” belaka. Narasi itu digaungkan sekadar untuk menenangkan
publik bahwa tragedi Nakbah 1948 tidak akan terulang lagi bagi saudara-saudara
Palestina kita saat ini. Rencana Prabowo ini bahkan tidak ada artinya meskipun
disertai komitmen yang kuat dari Indonesia untuk terus menyuarakan hak-hak
bangsa Palestina di meja-meja diplomasi, termasuk hak mereka untuk kembali ke
tanah air mereka suatu hari nanti. Di lain pihak, Israel pasti tak tinggal
diam. Mereka dengan sigap akan mendorong langkah “gegabah” Indonesia ini untuk
segera diwujudkan, terlebih rencana ini sesuai dengan keinginan Presiden Amerika
Serikat Donald Trump sebagaimana pernah diungkapkan secara terbuka beberapa
waktu lalu.
Rencana Presiden Prabowo Subianto
ini sejatinya sangat tidak relevan dalam konteks dinamika geopolitik terkini.
Dengan semakin intensifnya konflik di Gaza, dan meningkatnya tekanan
internasional untuk mencari solusi kemanusiaan, Indonesia memiliki kesempatan
yang jauh lebih strategis dari sekadar menerima pengungsi Palestina. Salah satu
caranya adalah menunjukkan kepemimpinan yang nyata di panggung internasional
melalui jalur diplomasi dan komitmen yang konsisten terhadap penyelesaian akar konflik
berkepanjangan tersebut.
Indonesia dapat memanfaatkan
posisinya sebagai salah satu negara mayoritas Muslim terbesar dan anggota
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk membangun konsensus internasional dan
mendorong tindakan nyata. Selain itu, Indonesia dapat bekerja sama dengan
negara-negara lain yang memiliki komitmen terhadap perdamaian di Timur Tengah
untuk mencari solusi politik yang komprehensif.
Penting untuk diingat bahwa
solusi jangka panjang untuk konflik Palestina-Israel hanya dapat dicapai
melalui negosiasi yang adil dan inklusif, yang mengakui hak-hak bangsa
Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara merdeka. Rencana
penampungan sementara warga Gaza yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto
justru menjadi kontraproduktif bagi terwujudnya cita-cita kemerdekaan bangsa
Palestina. Indonesia perlu terus mendorong komunitas internasional untuk
menekan Israel agar mengakhiri pendudukan dan kekerasan, serta mendukung upaya
perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Selain itu, belajarlah dari sejarah, Pak
Presiden. Wallahua’lam...