-->

Type something and hit enter

On

 


Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto melontarkan wacana kontroversial untuk menampung 1.000 orang penduduk Gaza, Palestina ke Indonesia. Hal ini ia maksud sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan terhadap rakyat Palestina yang menjadi korban serangan militer bertubi-tubi Israel. Wacana ini, meskipun sekilas tampak dilandasi niat mulia untuk meringankan beban penderitaan saudara-saudara kita di Palestina, sontak menuai beragam reaksi dan perdebatan sengit di berbagai kalangan. Respon kritis pun datang dari berbagai lapisan masyarkat, mulai dari pengamat geopolitik, pemerhati Timur Tengah dan dua ormas besar, NU dan Muhammadiyah.

 

Memang tak bisa dipungkiri sebagian masyarakat kita, yang memiliki sentimen kuat terhadap isu-isu Palestina, tampak menyambut baik inisiatif ini sebagai wujud nyata solidaritas dan komitmen kemanusiaan yang bisa direpresentasikan oleh Prabowo sebagai kepala negara. Mereka juga melihat persoalan ini sebagai momentum penting dalam sejarah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak hanya mendukung Palestina dengan retorika semu, tetapi dengan aksi nyata yang jauh lebih konkret.

 

Suara-suara kritis yang mulai bergema di ruang-ruang publik, mempertanyakan urgensi, orientasi, dan implikasi politik dan sosial dari wacana Prabowo ini. Sejumlah ekonom menyoroti kondisi ekonomi domestik yang masih sangat rentan, terseok-seok di tengah goncangan perang dagang antara AS-China, serta berbagai permasalahan sosial, politik dan hukum yang masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Menampung 1.000 pengungsi, meskipun jumlahnya relatif kecil, jelas akan menambah beban anggaran negara, sementara keuangan negara sedang defisit, hingga sebesar Rp31,2 triliun pada akhir Februari 2025.

 

Wacana Prabowo ini bisa dimaknai sebagai tindakan reaktif terhadap krisis kemanusiaan di Gaza. Prabowo tampaknya lupa bahwa akar permasalahan di Gaza adalah pendudukan dan penjajahan. Penyelesaian konflik ini tentu memerlukan solusi politik yang mendasar dan harus melibatkan banyak pihak. Tindakan menampung pengungsi dalam skala terbatas ini, alih-alih mengurai konflik utama, justru hanya akan mengalihkan perhatian dunia dari upaya kerja-kerja diplomatik dan tekanan internasional yang lebih luas terhadap Israel. Dengan mengosongkan sedikit demi sedikit wilayah Gaza atas nama kemanusiaan, itu sama artinya menyerahkan wilayah Palestina tersebut kepada Israel secara cuma-cuma, sesuatu yang barangkali luput dari perhatian Prabowo.

 

Masalah berikutnya adalah apakah 1.000 warga Gaza tersebut akan diberikan status pengungsi sesuai dengan Konvensi Pengungsi 1951, atau status perlindungan sementara dengan ketentuan yang berbeda? Kejelasan status ini akan memengaruhi akses mereka terhadap layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, serta potensi integrasi mereka dalam jangka panjang jika situasi di Gaza tidak kunjung membaik. Tanpa adanya transparansi mengenai aspek legal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan potensi konflik sosial di tanah air pada kemudian hari.

 

Selain itu, perlu dipertimbangkan pula potensi implikasi psikologis dan trauma yang dialami ribuan warga Gaza akibat konflik berkepanjangan. Mereka pasti membutuhkan fasilitas psikologis dan program pemulihan yang komprehensif. Apakah Indonesia memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk menyediakan layanan ini secara menyeluruh dan efektif? Kegagalan dalam menangani aspek psikologis dapat menghambat proses adaptasi dan integrasi para pengungsi.

 

Pada akhirnya, wacana menampung pengungsi Gaza ini menjadi ujian berat bagi komitmen kemanusiaan Presiden Prabowo di tengah kompleksitas geopolitik Timur Tengah dan keterbatasan sumber daya domestik. Pemerintah perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial terkait kapasitas, keberlanjutan, aspek hukum, integrasi sosial, dan dampak geopolitik secara transparan. Solidaritas kemanusiaan yang tulus harus diimbangi dengan perencanaan yang matang dan pertimbangan yang cermat terhadap kepentingan nasional jangka panjang, bukan sekadar cari muka di panggung internasional, atau sekadar sentimen reaktif yang justru akan memperkeruh konflik kemanusiaan di Gaza, Palestina. Saya rasa Prabowo tidak senaif itu. Semoga..

 


Post a Comment
Click to comment
 

MARI BERLANGGANAN!